anak ►SSG-2. E2. SITI MUSTIRAH + H. GHOZALI, di h. 17 Setelah beberapa minggu menderita sakit, Siti Mustirah meninggal dalam posisi duduk, segera setelah selesai mengucapkan dua kalimah syahadat (1946), disaksikan oleh putranya, E2.9 ABD KHALIM.
Sebagian dari bekas lahan yang ditempatinya sekarang menjadi Balai Desa Bagorejo.
6. 1901. Anak ke-3 E3 H. RIDWAN lahir. Semula dia bernama Asim alias Sorok. ►SSG-3: .E3. H. RIDWAN + RUMISAH, h. 21.. Anak laki-laki satu-satunya dari isteri pertama, dimanjakan, banyak keinginannya dituruti. Hampir di sepanjang hidupnya tinggal di rumah peninggalan ayahnya, H. Shaleh, terletak di seberang Balai Desa Bagorejo. Dia adalah salah satu orang yang tidak kuat mengangkat kitab Al-Qur’an yang tersimpan di makam Eyang Nur Kandam, sebagaimana ditulis di ►h. 1, ♦Makam.
7. 1913. Putri ke-4 E4 H. RODIYAH (27-02-2002) lahir. Semula bernama Tasini alias Sapon. ►SSG-4: .E4. Hj. ST RODIYAH + H. ABD. ROHIM. di h. 25 dan 26. Dia adalah isteri H. Abdur Rahim, Gumukmas. Sebagaian lahannya sekarang ditempati bangunan SMPI Gumukmas.
8. 1914. Naik Haji Untuk Pertama Kalinya. Kromo Joyo bersama isterinya pergi ke Mekah menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya, yang memakan waktu hingga lebih dari 6 (enam) bulan lamanya. Sejak setelah saat inilah nama Kromo Joyo diganti menjadi H. SHALEH, dan isterinya Hj. Siti Fatimah. Dua orang saudaranya ikut serta dalam perjalanan ini: H. Syukur [D] dan H. Mansur [G].►Silsilah Moyang h. 11.
Di tahun itu di Tanah Arab sedang berkecamuk Perang Wahabi, penganut paling konservatif melawan penganut yang mujadid. Ketika itu masih sering terjadi perampokan dan pembunuhan di gurun pasir. Dalam perjalanannya dari Madinah ke Mekkah sering kali harus menempuh jalan langkau untuk menghidari tempat-tempat yang rawan perampokan, dan sesekali menemui mayat di jalan dari orang yang dibunuh rampok di gurun pasir. Untuk masa perjalanan yang lama itu, entah bagaimana caranya beliau membawa bekal perjalannya, membawa uangnya.
9. 1916. Rencana beribadah haji untuk ke-2 kalinya gagal.
H. Shaleh berniat untuk berangkat naik haji lagi, tetapi gagal karena tidak ada kapal laut dari Eropa yang datang ke pulau Jawa. Kapal ini kembali pulang ke Eropa dapat membawa orang-orang Asia yang hendak pergi berhaji di Mekah, dengan singgah dan menurunkan calon jamaah haji di Jiddah (Arab), kemudian meneruskan pelayarannya ke Eropa melalui Terusan Zuez di ujung utara Laut Merah. Tetapi ketika itu Terusan Zuez ditutup (oleh pemiliknya, Inggris) sebagai akibat dari berkecamuknya Perang Dunia I (1914-1918), dan tidak ada kapal yang berlayar dari Eropa menuju ke Jawa atau sebaliknya dari Jawa ke Eropa, yang biasa membawa jamaah haji ke Jidah (belum ada pesawat udara).
Kamis, 29 Oktober 2009
BIOGRAFI H.SHOLEH (KROMOJOYO)
BIOGRAFI H. SHALEH
(KROMO JOYO, 1860-1938)
Berikut ini adalah biografi singkat dari H. Shaleh (Kromo Joyo). Disusun kronologis, dan diberi nomor urut atau butir 1 s/d 19 untuk memudahkan perujukan. Beberapa dari angka tahun-tahun di bawah ini merupakan hasil perkiraan/asumsi berdasarkan Geonologi, karena data otentik tidak ada. Di memuat ulasan singkat (narasi) tentang kehidupannya, usahanya, dalam perjuangan hidupnya (struggle for life), amal baktinya untuk para anggota keluarganya dan beberapa orang sesamanya serta amal baktinya sebagai ibadah menurut agamanya, disertai sekelumit tentang hal-hal yang terkait dengan sejarah pertumbuhan pendidikan agama Islam setempat, dimana almarhum bertempat tinggal sampai akhir hayatnya, di desa Bagorejo (Jember). ►h. 4, peta Jawa Timur.
1. 1860. Kromo Joyo (nama setelah kawin), dilahirkan di desa Goangsan, pada tahun 1860. Beliau adalah cucu ke-5 dari 12 orang cucu (lelaki dan perempuan) dari Jo Menggolo. Jo Menggolo adalah salah satu putra Eyang Nur Kandam ►Silsilah Moyang p. 11. Selama lebih kurang 19 tahun masa mudanya, Kromo Joyo tinggal di desa Goangsan, Kelurahan Sri Kayangan, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo (DIY)1).
2. 1877. Kawin. Ketika masih muda belia, berusia sekitar 17 tahun, Kromo Joyo menyunting seorang gadis sedesanya, dinikahinya ketika dia baru berusia 15 tahun (lahir 1862) sehingga lama sekali tidak mendapat anak.
Menjadi kebiasaan bagi orang-orang Jawa di masa itu untuk mengganti nama mereka di saat menikah. Kromo Joyo adalah nama baru (nama tua) setelah beliau menikah. Nama beliau sebelum itu, tidak diketahui.
Pikiran Kromo Joyo cukup dinamis, kreatif. Beliau gigih menghadapi tantangan hidup. Karena di desa asalnya, beliau merasa bahwa masa depan kehidupannya tampak suram, maka beliau membulatkan tekadnya untuk mencari lahan kehidupan yang baru, yang pernah
1) Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari: Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo (yang berada di sebelah barat Sungai Progo, dengan ibukotanya kota Wates).►Peta DIY, h. x. Orang Jawa ketika itu pada umumnya menyebut daerah ini sebagai bagian dari daerah MENTARAM (wilayah Kerajaan Mataram) sedangkan provinsi Jawa Timur mereka sebut sebagai MOJOPAIT (wilayah Kerajaan Majapahit, 1293-1389).
Tanah di desa Goangsan ini tandus berbatu-batu, tidak produktif untuk bercocok tanam atau bertani. Hanya pohon jati yang dapat tumbuh baik. Tanda-tanda animisme (sisa kepercayaan agama terdahulu) masih tampak di tempat ini. Pohon-pohon besar masih dikeramatkan, dilingkungi pagar, diberi sesaji, dsb.
(KROMO JOYO, 1860-1938)
Berikut ini adalah biografi singkat dari H. Shaleh (Kromo Joyo). Disusun kronologis, dan diberi nomor urut atau butir 1 s/d 19 untuk memudahkan perujukan. Beberapa dari angka tahun-tahun di bawah ini merupakan hasil perkiraan/asumsi berdasarkan Geonologi, karena data otentik tidak ada. Di memuat ulasan singkat (narasi) tentang kehidupannya, usahanya, dalam perjuangan hidupnya (struggle for life), amal baktinya untuk para anggota keluarganya dan beberapa orang sesamanya serta amal baktinya sebagai ibadah menurut agamanya, disertai sekelumit tentang hal-hal yang terkait dengan sejarah pertumbuhan pendidikan agama Islam setempat, dimana almarhum bertempat tinggal sampai akhir hayatnya, di desa Bagorejo (Jember). ►h. 4, peta Jawa Timur.
1. 1860. Kromo Joyo (nama setelah kawin), dilahirkan di desa Goangsan, pada tahun 1860. Beliau adalah cucu ke-5 dari 12 orang cucu (lelaki dan perempuan) dari Jo Menggolo. Jo Menggolo adalah salah satu putra Eyang Nur Kandam ►Silsilah Moyang p. 11. Selama lebih kurang 19 tahun masa mudanya, Kromo Joyo tinggal di desa Goangsan, Kelurahan Sri Kayangan, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo (DIY)1).
2. 1877. Kawin. Ketika masih muda belia, berusia sekitar 17 tahun, Kromo Joyo menyunting seorang gadis sedesanya, dinikahinya ketika dia baru berusia 15 tahun (lahir 1862) sehingga lama sekali tidak mendapat anak.
Menjadi kebiasaan bagi orang-orang Jawa di masa itu untuk mengganti nama mereka di saat menikah. Kromo Joyo adalah nama baru (nama tua) setelah beliau menikah. Nama beliau sebelum itu, tidak diketahui.
Pikiran Kromo Joyo cukup dinamis, kreatif. Beliau gigih menghadapi tantangan hidup. Karena di desa asalnya, beliau merasa bahwa masa depan kehidupannya tampak suram, maka beliau membulatkan tekadnya untuk mencari lahan kehidupan yang baru, yang pernah
1) Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari: Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo (yang berada di sebelah barat Sungai Progo, dengan ibukotanya kota Wates).►Peta DIY, h. x. Orang Jawa ketika itu pada umumnya menyebut daerah ini sebagai bagian dari daerah MENTARAM (wilayah Kerajaan Mataram) sedangkan provinsi Jawa Timur mereka sebut sebagai MOJOPAIT (wilayah Kerajaan Majapahit, 1293-1389).
Tanah di desa Goangsan ini tandus berbatu-batu, tidak produktif untuk bercocok tanam atau bertani. Hanya pohon jati yang dapat tumbuh baik. Tanda-tanda animisme (sisa kepercayaan agama terdahulu) masih tampak di tempat ini. Pohon-pohon besar masih dikeramatkan, dilingkungi pagar, diberi sesaji, dsb.
Langganan:
Postingan (Atom)